Sabtu, 29 November 2014

CERPEN BERTEMA SOSIAL




Patah Sayap Kenari
Oleh: Eva Nurmalia

Naimah Luhuriani atau yang sering disapa Imah, itulah nama gadis kecil yang berperawakan lembut dan sangat cantik itu. Matanya selalu pancarkan kejernihan hati dan pikiran. Waktu yang selalu berputar pada poros yang tak pernah berhenti walaupun hanya sedetik, tak terasa kini telah membawa Naimah pada usianya yang ke-11 tahun. Usia yang seharusnya mengantarkan seorang anak  untuk berkasih-kasih dengan keluarga, menimba ilmu, bermain bersama teman-temansebayanya, dan menikmati setiap saat mengasyikkan yang pastinya enggan jika terlewatkan. Kasih sayang dari keluarga, belaian dari ibu dan ayah pasti selalu diharapkan oleh setiap anak, agar mereka bisa lebih menikmati indahnya sebuah kebersamaan. Belajar kelompok bersama teman-teman sembari menikmati makanan ringan yang tersedia di meja, ditambah dengan iringan canda dan tawa yang teruntai dari kisah dan kekonyolan teman-teman. Hal seperti itu pasti akan menjadi cerita indah dan menarik di hati anak-anak seusia Naimah.

Naimah juga memiliki harapan yang sama seperti anak-anak lain yang seusia dengan dirinya. Harapan indah yang digantungkannya pada sebuah pohon harapan yang manjualang tinggi di dalam jiwanya. Tak terlihat memang, wujudnya tak sanggup dipandang dengan menggunakan bola mata yang sembarangan. Namun percayalah hal itu nyata adanya, walaupun semua ini hanya terlintas seperti mimpi yang enggan menyambut pagi. Senyum serupa pijar bintang dari gadis kecil itulah yang seolah-olah berucap bahwa dialah yang akan membuktikannya.

“Piiaaaarrrr!!!”

Ibunya kembali memecahkan gelas. Bukan karena marah atau pun kesal kepada Naimah, justru ibunya tak ingin selalu merepotkan anak gadisnya itu.

“Maafkan ibu Nak, kini ibu telah memecahkan satu gelas milik kita lagi,” jawab ibu Naimah dengan berlinang air mata.
Naimah yang seketika itu berlari menuju kamar ibunya, segera memeluk ibunya dan menyeka air mata yang berlinang.

“Tak usah Ibu pikirkan gelas-gelas itu, Imah yang salah karena memberi Ibu gelas kaca. Maafkan Imah Bu, Ibu pasti sedang haus. Biar Imah ambilkan Ibu nimun dulu,” jawab Imah dengan suara bercampur tangis karena memang menyakitkan dan menyedihkan melihat kondisi ibunya yang seperti ini.

“Tidak usah Nak, Ibu tidak haus. Sekarang ini Ibu hanya ingin memeluk dan mencium kamu,” ucap ibunya sembari memeluk erat Imah dan meraba-raba wajah Imah yang cantik itu.

Ibu Imah memang sedang menderita stroke sejak dua tahun yang lalu, bahkan serangan stroke tersebut membuat ibu Naimah mengalami kebutaan. Kini ibunya tak dapat berbuat banyak, aktivitasnya kebanyakan dihabiskan di dalam sebuah kamar yang sempit dan nampak sangat lusuh. Jika diamati sekejap saja, kamar tersebut nampak sudah benar-benar tak layak pakai. Namun menurut Imah dan keluaraga di kamar lusuh itulah tempat paling indah dan nyaman yang pernah mereka miliki. Sebuah rumah reot berdindingkan anyaman bambu yang sudah hampir lapuk. Genteng rumah yang tipis dan berubah warna menjadi hitam itu sudah tampak mulai lelah kerena tersengat sinar matahari dan terguyur hujan disetiap musim yang silih berganti. Tragis.

Naimah kini tinggal bersama ibu, adik, dan kakek-neneknya yang sudah berusia lanjut, di keluarga ini dia harus selalu berusaha keras untuk dapat mempertahankan hidup dari orang-orang yang disayanginya tersebut. Sedang ayahnya yang kini sedang berada di tanah rantau sudah lebih dari satu tahun tak pulang untuk menjenguk anak dan istrinya. Dia dan kekeknya yang sudah berusia lanjut memang harus membanting tulang sebab mereka harus menjadi penanggung jawab hidup keluarganya. Waktu untuk bermain dengan teman-teman sebayanya terpaksa harus musnah, karena Naimah harus mencari nafkah. Pandai dalam mengatur waktu, antara waktu untuk sekolah, belajar, dan bekerja, itulah kunci yang harus dipegang Naimah dalam menjalani harinya. Setiap hari Maimah harus bergelut dengan segala aktivitas berat untuk ukuran anak seusianya. Namun jika melihat senyum Naimah yang  selalu terukir dan penuh ketegaran itu, pasti membuat makhluk tidak akan mengira bahwa gadis kecil itu meyeka barjuta luka dan kesediahan di hidupnya.

Setiap hari keadaan selalu menuntut Imah untuk bangun kala fajar mulai menyinsing, bahkan sebelum para ayam milik tetangga berkokok menyerukan pagi. Ya, Naimah harus menyelesaikan semua tugas-tugas rumah sebelum berangkat ke sekolah. Sedang kakeknya sudah harus berangkat ke tempat kerja, membuat batu bata. Kini neneknya tak dapat membantu banyak karena usia senja memerangkapnya dalam kelemahan. Yani, adik Imah yang masih duduk di kelas dua SD selalu barusaha membantu kakaknya dengan segenap kemampuan yang dia miliki. Setelah selesai mengerjakan pekerjaan rumah, Imah dan adiknya bersiap untuk berangkat sekolah. Walaupun dengan seragam yang sudah sangat lusuh dengan sepatu dan tas sekolah yang seadaanya, namun mereka tetap saja samangat untuk memuntut ilmu.

“Ibu, Nenek, Yani dan kakak berangkat sekolah dulu,” pamit adik Naimah sembari mencium tangan ibu dan neneknya bergantian.

“Kami minta doa restunya ya Bu, Nek, jaga diri baik-baik,” sambung Nimah.

“Iya nak, sekolah yang serius, doa ibu menyertai kalian.”

Syukurlah sampai sekarang mereka masih bisa bersekolah, itu semua berkat beasiswa yang didapat mereka karena mereka merupakan murid berprestasi di sekolah. Luar biasa, di tengah banyak sekali derita yang menghadang, Imah dan Yani tetap saja bisa mengukir prestasi yang sangat membanggakan.


Sepulang sekolah peran Naimah sebagai tulang punggung keluarga kembali dimulai. Siang itu langkahnya kembali menyusuri sepanjang pinggiran jalan untuk mencari buah mangga yang telah jatuh. Ya, buah mangga yang masih muda dan masam itulah yang menjadi incaran Imah. Setelah buah mangga masam tersebut sudah terkumpul, perjalanannya di lanjutkan menuju ladang jangung. Di situlah Imah mulai memungut jagung-jagung milik petani dari hasil panen yang sudah berceceran dan tak dipergunakan lagi. Kadang jika dia bertemu dengan petani yang baik hati dia akan diberi seplastik jangung, karena mungkin petani tersebut merasa iba dengan Naimah. Namun, kadang ada juga petani kikir yang justru memarahi dan mengusir Naimah. Tabiat orang memang berbeda-beda.

Setelah semuanya terkumpul, Naimah segera pulang dan menyerahkan mangga muda dan jangung tersebut kepada neneknya. Neneknya akan mengolah mangga muda tersebut menjadi makanan khas yang menggugah selera, botok pacit namanya. Botok pacit diolah menggunakan resep sederhana milik keluarga yang sudah turun-temurun. Sedang jagung yang didapatkan diolah menjadi nasi jangung, makanan yang sangat cocok dimakan bersamaan dengan botok pacit. Tungku perapian di dapur reot itu menjadi kawan nenek Imah. Imah yang selalu membantu neneknya memasak, kadang tak tega melihat neneknya yang sudah sepuh itu harus bergulat dengan gerahnya dapur yang mendekap tubuh neneknya yang telah dibalut kulit keriput tersebut. Peluh nenek Imah kian bercucuran dan tak jarang asap dari perapian itu membuatnya batuk-batuk.

“Botok pacit... nasi jangung....”

“Botok pacit... nasi jagung,” seru Naimah menjajakan dagangannya.

Setiap hari dia harus berkeliling desa untuk menjajakan botok pacit dan nasi jangung buatan neneknya hingga malam mulai menyapa. Perjalannan sekitar empat kilo meter setiap saat hari harus dia lalui demi menyambung hidup keluarganya terkasihnya.

Pekan ujian kenaikan kelas sudah di depan mata, Naimah dan adiknya harus lebih giat belajar agar mereka dapat mempertahankan posisinya menjadi juara kelas, sehingga mereka tetap bisa mendapatkan beasiswa untuk bersekolah. Selama ini Nimah dan Yani memang hanya mengandalkan beasiswa untuk dapat melanjutkan sekolah. Mereka sangat bersyukur, karena dengan beasiswa itu mereka bisa lebih dekat dengan cita-citanya yang telah mereka gantungkan pada ranting tertinggi di pohon harapan yang tertanam di jiwa mereka masing-masing.

“Nak, hari ini biar Ibu saja yang mengerjakan pekerjaan rumah. Kalian saat ini harus belajar lebih giat lagi, agar kalian dapat meneruskan sekolah,” ucap ibu Naimah sembari berusaha membereskan kamar.

“Tidak usah Bu, Ibu istirahatlah saja. Biar nanti semua pekerjakan Imah yang selesaikan. Imah dan Yani sudah bisa mengatur waktu belajar kami,” jawab Naimah menenangkan ibunya dan mencoba menuntun  ibunya ke tempat tidur.


“Kalian harus berjuang agar selalu mendapat juara kelas, sehingga kalian bisa mendapat beasiswa dan kepandaian kalian bisa mengantarkan kalian ke kehidupan yang jauh lebih baik dibanding sekarang ini, Nak. Maafkan Ibu yang tak mampu berbuat apa-apa untuk kalian, selain mendoakan kalian. Ibu sadar jika Ibu ini hanya bisa mneyusahkan kalian.”

Linangan air mata mulai berjatuhan di pipi ibu Imah, doanya sekarang ini hanya diperuntukkan demi kebahagiaan keluarganya terutama anak-anak terkasihnya serta keselamatan suaminya yang mungkin telah ditelan oleh bumi rantau yang kini dihuninya. Ya, sosok ayah yang telah lama dirindukan oleh Naimah dan Yani. Walaupun dulu ayahnya itu selalu berperilaku keras kepada mereka dan ibu mereka, tetapi dia tetaplah ayah yang selalu mereka hormati dan sayangi.

“Ibu jangan berkata seperti itu, bagi kami, ibu adalah nyawa. Kami akan selalu menjaga ibu, karena kami tahu jasa-jasa ibu jauh lebih besar di banding kami. Kami akan berusah merubah kehidupan kita ke arah yang jauh lebih baik, di mana hanya kebahagiaan dan tawa yang menjadi kawan sejati kita, Bu.”

Kedua putri cantik itu memeluk erat tubuh ibunya, suasana haru tercipta sebelum mereka berdua bergegas ke sekolah. Walaupun ibu Imah memiliki banyak sekali terbatasan, namun Imah dan Yani justru merasa bahwa ibunya adalah sosok paling sempurna di dunia ini. Nasihat dan semangat dari ibu yang membuat mereka tahu bagaimana cara menjalani hidup yang baik walaupun rintangan selalu datang menghalangi. Sejak dilahirkan di dunia Naimah dan Yani memang selalu hidup terseok-seok, mereka belum pernah merasakan kebahagiaan layaknya anak-anak pada umumnya.

Hari-hari berjalan seperti biasa, setelah semua botok pacit dan nasi jangung hari ini habis terjual. Recehan sejumlah Rp 15.000,- kini telah dikantongi untuk menyambung hidupnya dan keluarganya esok hari. Malam harinya Naimah mulai asyik belajar di sebuah bangku lapuk yang berada di depan rumahnya. Sedang adiknya kali ini lebih memilih belajar di kamar, karena dia tahu kakaknya sedang membutuhkan konsentrasi yang lebih.

“Naimah.”
Suara itu samar-samar terdengar di telinga Imah, dan ternyata itu suara neneknya.

“Iya Nek, ada apa?”

“Sudahkah kau makan malam, Nak?”

“Belum Nek, biar kakek, ibu, dan adik makan terlebih dahulu jika nanti singkong rebus buatan nenek masih barulah Imah makan. Lagi pula Imah masih kenyang Nek,” jawab Naimah sambil tersenyum.

Tiba-tiba nenek Imah memeluk erat Imah dan air mata pun mulai bermuara. Imah saat itu hanya bisa membalas pelukan neneknya tanpa mengetahui alasan mengapa neneknya menangis. Mungkin nenek Imah merasa tidak tega melihat perjuangan  sangat keras yang harus dijalani cucunya setiap hari.

“Imah harus sabar menjalani semua cobaan dan jalan hidup yang harus kita lalui sekarang ini ya. Terimakasih untuk semua perngorbanan dan perjuangan Imah selama ini yang telah membantu kekekmu menjadi tulang punggung kaluarga,” ucap Sang Nenek dengan diiringi tangis, mungkin hatinya sekarang sedang benar benar kalut.

“Imah akan selalu sabar dan ikhlas menjalani hidup seperti ini Nek, malah imah merasa sangat sempurna dan beruntung memiliki keluarga seperti ini. Sebuah keluarga yang penuh kasih sayang. Dan jika Imah membantu kekek bekerja bukankah itu justru bisa menjadikan Imah sosok yang lebih mandiri Nek?”

“Iya, kamu benar sekali Nak. Nenek sangat bangga kepadamu.”

Sampai malam larut pun nenek Imah belum bisa menghentikan air mata yang terus menetes, entah mengapa kali ini hatinya merasa benar-benar sedih. Rasanya ada perasaan cemas yang bergelayutan di dalam hatinya.

Hari ini adalah hari yang paling dinanti-nanti semua oleh siswa SD Harapan Bangsa, terutama Naimah dan Yani. Buku rapot kenaikan kelas sebentar lagi akan dibagikan oleh Ibu Guru dan ini merupakan saat-saat yang menegangkan untuk kedua kakak-beradik itu. Apakah mereka bisa mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sekolah ke jenjang kelas yang lebih tinggi lagi ataukah tidak. Di rumah ibu, nenek, dan kekek mereka pun sudah pasti mendoakan mereka. Entah mengapa hari ini mereka semua merasakan sesuatu yang aneh dan menganjal, mungkinkah akan ada sesuatu yang tak terduga. Mereka pun tak tahu, yang pasti anggota keluarga Imah menunggu kedatangan Imah dan adiknya untuk membawa kabar gembira.

Keadaan di masing-masing kelas menjadi sangat menegangkan.

“Naimah Luhuriani,” panggil Bu Guru.
Naimah pun maju kedepan dengan hari yang penuh dengan getaran-getaran tak menentu, kakinya menjadi tak tegak untuk menginjak tanah.

“Selamat Imah, kamu berhasil menjadi juara bertahan lagi di tahun ini. Kamu lagi-lagi mendapat juara pertama di kelas ini. Selalu pertahankan dan tingkatkan prestasimu untuk menghapai ujuan nasional tahun depan!”

“Siap Bu, terimaksih,” jawab Imah dengan girang.

Dan ternyata hal itu juga dialami oleh adik tersayangnya, mereka berdua sangat bahagia karena bisa mendapat juara kelas dan beasiswa untuk kesekiankalinya. Tak lupa teman-teman mereka pun bergantian memberi ucapan selamat kepada mereka. Hadiah dari ibu guru berupa seragam sekolah, tas, dan alat tulis kini berada dalam genggaman mereka. Setelah bel pulang sekolah berbunyi Imah dan Yani bergegas untuk pulang dan memberitahukan kabar gembira ini kepada keluarga yang pastinya sudah menanti.

Di sepanjang jalan yang penuh dengan lalu lalang pengendara motor, Yani selalu mengembangkan senyumnya, wajar bila dia sebahagia ini. Kamudian tiba-tiba matanya tertuju pada seorang pengemudi yang terlihat sedang berusaha memutar balik  kendaraannya untuk mengambil barang bawaanya yang terjatuh di jalalan tidak jauh dari tempat Yani berdiri. Yani pun kemudian mencoba membantu Bapak itu mengambilkan barang bawaanya. Hingga tanpa dia sadari ternyata ada seorang pengendara muda yang mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi dan tanpa aturan datang dari arah belakang, seolah-oalah akan menerjang Yani. Kemudin sigap Naimah segera mengangkat tubuh Yani dan mencoba untuk menyelamatkan adiknya. Suasana menjadi sangat menyeramkan, ini adalah keadaan  antara hidup dan mati.

“Guubrrraaaakkk!!!!!”

Suara jeritan dari anak perempuan pun terdengar sangat jalas dan miris. Kemudian disusul dengan suara kebingungan dan berontakan dari orang-orang di sekitar tempat itu. Tangis seorang gadis pun seketika pecah membuat orang-orang di sekitar tempat itu berbondong-bondong untuk menolong korban tabrakan itu. Dan di waktu yang sama, di rumah, tangan ibu dari kedua gadis manis nan tangguh itu terluka kerena tergores kaca dari gelas yang dipecahkanya.

Kabar gembira kini sudah berubah duka. Gadis kecil itu sudah tidak bisa terselamatkan, mungkin ini sudah takdir dari Allah. Kini gadis pejuang itu harus berpisah dengan ibu yang paling disayanginya dan keluarganya. Semua makhluk berduka, banyak sekali tangis yang mengiringi kepergiannya. Mungkin di dunia yang selanjutnya dia akan menemukan kebahagiaan yang abadi. Kini dia hanya bisa mendoakan ibu dan keluarganya dari atas awan putih yang indah dan sejuk itu, sembari menunggu ibu dan keluarganya kelak menyusul dia untuk hidup di dunia kekal yang jauh lebih indah.

Rumah reot dan penghuninya kini tengah dirundung duka yang luar biasa. Kini sosok putri cantik yang tegar itu sudah pergi untuk selama-lamanya. Adiknyalah yang kan menggantikan perannya mencari nafkah utuk keluarga, membantu kakeknya. Dan semoga saja sosok ayah yang selama ini dinanti kepulangannya bisa segera datang dengan sikap yang lebih baik dan bersedia membantu keluarga tersebut menyambung hidup. Selamat jalan Naimah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar