Patah Sayap Kenari
Oleh: Eva Nurmalia
Naimah Luhuriani atau yang sering disapa Imah, itulah nama gadis
kecil yang berperawakan lembut dan sangat cantik itu. Matanya selalu pancarkan
kejernihan hati dan pikiran. Waktu yang selalu berputar pada poros yang tak
pernah berhenti walaupun hanya sedetik, tak terasa kini telah membawa Naimah
pada usianya yang ke-11 tahun. Usia yang seharusnya mengantarkan seorang
anak untuk berkasih-kasih dengan
keluarga, menimba ilmu, bermain bersama teman-temansebayanya, dan menikmati
setiap saat mengasyikkan yang pastinya enggan jika terlewatkan. Kasih sayang
dari keluarga, belaian dari ibu dan ayah pasti selalu diharapkan oleh setiap
anak, agar mereka bisa lebih menikmati indahnya sebuah kebersamaan. Belajar
kelompok bersama teman-teman sembari menikmati makanan ringan yang tersedia di
meja, ditambah dengan iringan canda dan tawa yang teruntai dari kisah dan
kekonyolan teman-teman. Hal seperti itu pasti akan menjadi cerita indah dan
menarik di hati anak-anak seusia Naimah.
Naimah juga memiliki harapan yang sama seperti anak-anak lain yang
seusia dengan dirinya. Harapan indah yang digantungkannya pada sebuah pohon
harapan yang manjualang tinggi di dalam jiwanya. Tak terlihat memang, wujudnya
tak sanggup dipandang dengan menggunakan bola mata yang sembarangan. Namun
percayalah hal itu nyata adanya, walaupun semua ini hanya terlintas seperti
mimpi yang enggan menyambut pagi. Senyum serupa pijar bintang dari gadis kecil
itulah yang seolah-olah berucap bahwa dialah yang akan membuktikannya.
“Piiaaaarrrr!!!”
Ibunya kembali memecahkan gelas. Bukan karena marah atau pun kesal
kepada Naimah, justru ibunya tak ingin selalu merepotkan anak gadisnya itu.
“Maafkan ibu Nak, kini ibu telah memecahkan satu gelas milik kita
lagi,” jawab ibu Naimah dengan berlinang air mata.
Naimah yang seketika itu berlari menuju kamar ibunya, segera memeluk ibunya dan menyeka air mata yang berlinang.
Naimah yang seketika itu berlari menuju kamar ibunya, segera memeluk ibunya dan menyeka air mata yang berlinang.
“Tak usah Ibu pikirkan gelas-gelas itu, Imah yang salah karena
memberi Ibu gelas kaca. Maafkan Imah Bu, Ibu pasti sedang haus. Biar Imah
ambilkan Ibu nimun dulu,” jawab Imah dengan suara bercampur tangis karena
memang menyakitkan dan menyedihkan melihat kondisi ibunya yang seperti ini.
“Tidak usah Nak, Ibu tidak haus. Sekarang ini Ibu hanya ingin
memeluk dan mencium kamu,” ucap ibunya sembari memeluk erat Imah dan
meraba-raba wajah Imah yang cantik itu.
Ibu Imah memang sedang menderita stroke sejak dua tahun yang lalu,
bahkan serangan stroke tersebut membuat ibu Naimah mengalami kebutaan. Kini
ibunya tak dapat berbuat banyak, aktivitasnya kebanyakan dihabiskan di dalam
sebuah kamar yang sempit dan nampak sangat lusuh. Jika diamati sekejap saja,
kamar tersebut nampak sudah benar-benar tak layak pakai. Namun menurut Imah dan
keluaraga di kamar lusuh itulah tempat paling indah dan nyaman yang pernah
mereka miliki. Sebuah rumah reot berdindingkan anyaman bambu yang sudah hampir
lapuk. Genteng rumah yang tipis dan berubah warna menjadi hitam itu sudah
tampak mulai lelah kerena tersengat sinar matahari dan terguyur hujan disetiap
musim yang silih berganti. Tragis.
Naimah kini tinggal bersama ibu, adik, dan kakek-neneknya yang
sudah berusia lanjut, di keluarga ini dia harus selalu berusaha keras untuk
dapat mempertahankan hidup dari orang-orang yang disayanginya tersebut. Sedang
ayahnya yang kini sedang berada di tanah rantau sudah lebih dari satu tahun tak
pulang untuk menjenguk anak dan istrinya. Dia dan kekeknya yang sudah berusia
lanjut memang harus membanting tulang sebab mereka harus menjadi penanggung
jawab hidup keluarganya. Waktu untuk bermain dengan teman-teman sebayanya
terpaksa harus musnah, karena Naimah harus mencari nafkah. Pandai dalam
mengatur waktu, antara waktu untuk sekolah, belajar, dan bekerja, itulah kunci
yang harus dipegang Naimah dalam menjalani harinya. Setiap hari Maimah harus
bergelut dengan segala aktivitas berat untuk ukuran anak seusianya. Namun jika
melihat senyum Naimah yang selalu
terukir dan penuh ketegaran itu, pasti membuat makhluk tidak akan mengira bahwa
gadis kecil itu meyeka barjuta luka dan kesediahan di hidupnya.
Setiap hari keadaan selalu menuntut Imah untuk bangun kala fajar
mulai menyinsing, bahkan sebelum para ayam milik tetangga berkokok menyerukan
pagi. Ya, Naimah harus menyelesaikan semua tugas-tugas rumah sebelum berangkat
ke sekolah. Sedang kakeknya sudah harus berangkat ke tempat kerja, membuat batu
bata. Kini neneknya tak dapat membantu banyak karena usia senja memerangkapnya
dalam kelemahan. Yani, adik Imah yang masih duduk di kelas dua SD selalu
barusaha membantu kakaknya dengan segenap kemampuan yang dia miliki. Setelah
selesai mengerjakan pekerjaan rumah, Imah dan adiknya bersiap untuk berangkat
sekolah. Walaupun dengan seragam yang sudah sangat lusuh dengan sepatu dan tas
sekolah yang seadaanya, namun mereka tetap saja samangat untuk memuntut ilmu.
“Ibu, Nenek, Yani dan kakak berangkat sekolah dulu,” pamit adik
Naimah sembari mencium tangan ibu dan neneknya bergantian.
“Kami minta doa restunya ya Bu, Nek, jaga diri baik-baik,” sambung Nimah.
“Iya nak, sekolah yang serius, doa ibu menyertai kalian.”
Syukurlah sampai sekarang mereka masih bisa bersekolah, itu semua
berkat beasiswa yang didapat mereka karena mereka merupakan murid berprestasi
di sekolah. Luar biasa, di tengah banyak sekali derita yang menghadang, Imah
dan Yani tetap saja bisa mengukir prestasi yang sangat membanggakan.
Sepulang sekolah peran Naimah sebagai tulang punggung keluarga
kembali dimulai. Siang itu langkahnya kembali menyusuri sepanjang pinggiran
jalan untuk mencari buah mangga yang telah jatuh. Ya, buah mangga yang masih
muda dan masam itulah yang menjadi incaran Imah. Setelah buah mangga masam
tersebut sudah terkumpul, perjalanannya di lanjutkan menuju ladang jangung. Di
situlah Imah mulai memungut jagung-jagung milik petani dari hasil panen yang
sudah berceceran dan tak dipergunakan lagi. Kadang jika dia bertemu dengan
petani yang baik hati dia akan diberi seplastik jangung, karena mungkin petani
tersebut merasa iba dengan Naimah. Namun, kadang ada juga petani kikir yang
justru memarahi dan mengusir Naimah. Tabiat orang memang berbeda-beda.
Setelah semuanya terkumpul, Naimah segera pulang dan menyerahkan
mangga muda dan jangung tersebut kepada neneknya. Neneknya akan mengolah mangga
muda tersebut menjadi makanan khas yang menggugah selera, botok pacit namanya.
Botok pacit diolah menggunakan resep sederhana milik keluarga yang sudah
turun-temurun. Sedang jagung yang didapatkan diolah menjadi nasi jangung,
makanan yang sangat cocok dimakan bersamaan dengan botok pacit. Tungku perapian
di dapur reot itu menjadi kawan nenek Imah. Imah yang selalu membantu neneknya
memasak, kadang tak tega melihat neneknya yang sudah sepuh itu harus bergulat
dengan gerahnya dapur yang mendekap tubuh neneknya yang telah dibalut kulit
keriput tersebut. Peluh nenek Imah kian bercucuran dan tak jarang asap dari
perapian itu membuatnya batuk-batuk.
“Botok pacit... nasi jangung....”
“Botok pacit... nasi jagung,” seru Naimah menjajakan dagangannya.
Setiap hari dia harus berkeliling desa untuk menjajakan botok pacit
dan nasi jangung buatan neneknya hingga malam mulai menyapa. Perjalannan
sekitar empat kilo meter setiap saat hari harus dia lalui demi menyambung hidup
keluarganya terkasihnya.
Pekan ujian kenaikan kelas sudah di depan mata, Naimah dan adiknya
harus lebih giat belajar agar mereka dapat mempertahankan posisinya menjadi
juara kelas, sehingga mereka tetap bisa mendapatkan beasiswa untuk bersekolah.
Selama ini Nimah dan Yani memang hanya mengandalkan beasiswa untuk dapat melanjutkan
sekolah. Mereka sangat bersyukur, karena dengan beasiswa itu mereka bisa lebih
dekat dengan cita-citanya yang telah mereka gantungkan pada ranting tertinggi
di pohon harapan yang tertanam di jiwa mereka masing-masing.
“Nak, hari ini biar Ibu saja yang mengerjakan pekerjaan rumah.
Kalian saat ini harus belajar lebih giat lagi, agar kalian dapat meneruskan
sekolah,” ucap ibu Naimah sembari berusaha membereskan kamar.
“Tidak usah Bu, Ibu istirahatlah saja. Biar nanti semua pekerjakan
Imah yang selesaikan. Imah dan Yani sudah bisa mengatur waktu belajar kami,”
jawab Naimah menenangkan ibunya dan mencoba menuntun ibunya ke tempat tidur.
“Kalian harus berjuang agar selalu mendapat juara kelas, sehingga
kalian bisa mendapat beasiswa dan kepandaian kalian bisa mengantarkan kalian ke
kehidupan yang jauh lebih baik dibanding sekarang ini, Nak. Maafkan Ibu yang
tak mampu berbuat apa-apa untuk kalian, selain mendoakan kalian. Ibu sadar jika
Ibu ini hanya bisa mneyusahkan kalian.”
Linangan air mata mulai berjatuhan di pipi ibu Imah, doanya
sekarang ini hanya diperuntukkan demi kebahagiaan keluarganya terutama
anak-anak terkasihnya serta keselamatan suaminya yang mungkin telah ditelan
oleh bumi rantau yang kini dihuninya. Ya, sosok ayah yang telah lama dirindukan
oleh Naimah dan Yani. Walaupun dulu ayahnya itu selalu berperilaku keras kepada
mereka dan ibu mereka, tetapi dia tetaplah ayah yang selalu mereka hormati dan
sayangi.
“Ibu jangan berkata seperti itu, bagi kami, ibu adalah nyawa. Kami
akan selalu menjaga ibu, karena kami tahu jasa-jasa ibu jauh lebih besar di
banding kami. Kami akan berusah merubah kehidupan kita ke arah yang jauh lebih
baik, di mana hanya kebahagiaan dan tawa yang menjadi kawan sejati kita, Bu.”
Kedua putri cantik itu memeluk erat tubuh ibunya, suasana haru
tercipta sebelum mereka berdua bergegas ke sekolah. Walaupun ibu Imah memiliki
banyak sekali terbatasan, namun Imah dan Yani justru merasa bahwa ibunya adalah
sosok paling sempurna di dunia ini. Nasihat dan semangat dari ibu yang membuat
mereka tahu bagaimana cara menjalani hidup yang baik walaupun rintangan selalu
datang menghalangi. Sejak dilahirkan di dunia Naimah dan Yani memang selalu
hidup terseok-seok, mereka belum pernah merasakan kebahagiaan layaknya
anak-anak pada umumnya.
Hari-hari berjalan seperti biasa, setelah semua botok pacit dan
nasi jangung hari ini habis terjual. Recehan sejumlah Rp 15.000,- kini telah
dikantongi untuk menyambung hidupnya dan keluarganya esok hari. Malam harinya
Naimah mulai asyik belajar di sebuah bangku lapuk yang berada di depan
rumahnya. Sedang adiknya kali ini lebih memilih belajar di kamar, karena dia
tahu kakaknya sedang membutuhkan konsentrasi yang lebih.
“Naimah.”
Suara itu samar-samar terdengar di telinga Imah, dan ternyata itu
suara neneknya.
“Iya Nek, ada apa?”
“Sudahkah kau makan malam, Nak?”
“Belum Nek, biar kakek, ibu, dan adik makan terlebih dahulu jika
nanti singkong rebus buatan nenek masih barulah Imah makan. Lagi pula Imah
masih kenyang Nek,” jawab Naimah sambil tersenyum.
Tiba-tiba nenek Imah memeluk erat Imah dan air mata pun mulai
bermuara. Imah saat itu hanya bisa membalas pelukan neneknya tanpa mengetahui
alasan mengapa neneknya menangis. Mungkin nenek Imah merasa tidak tega melihat
perjuangan sangat keras yang harus
dijalani cucunya setiap hari.
“Imah harus sabar menjalani semua cobaan dan jalan hidup yang harus
kita lalui sekarang ini ya. Terimakasih untuk semua perngorbanan dan perjuangan
Imah selama ini yang telah membantu kekekmu menjadi tulang punggung kaluarga,”
ucap Sang Nenek dengan diiringi tangis, mungkin hatinya sekarang sedang benar benar
kalut.
“Imah akan selalu sabar dan ikhlas menjalani hidup seperti ini Nek,
malah imah merasa sangat sempurna dan beruntung memiliki keluarga seperti ini.
Sebuah keluarga yang penuh kasih sayang. Dan jika Imah membantu kekek bekerja
bukankah itu justru bisa menjadikan Imah sosok yang lebih mandiri Nek?”
“Iya, kamu benar sekali Nak. Nenek sangat bangga kepadamu.”
Sampai malam larut pun nenek Imah belum bisa menghentikan air mata
yang terus menetes, entah mengapa kali ini hatinya merasa benar-benar sedih.
Rasanya ada perasaan cemas yang bergelayutan di dalam hatinya.
Hari ini adalah hari yang paling dinanti-nanti semua oleh siswa SD
Harapan Bangsa, terutama Naimah dan Yani. Buku rapot kenaikan kelas sebentar
lagi akan dibagikan oleh Ibu Guru dan ini merupakan saat-saat yang menegangkan
untuk kedua kakak-beradik itu. Apakah mereka bisa mendapatkan beasiswa untuk
melanjutkan sekolah ke jenjang kelas yang lebih tinggi lagi ataukah tidak. Di
rumah ibu, nenek, dan kekek mereka pun sudah pasti mendoakan mereka. Entah
mengapa hari ini mereka semua merasakan sesuatu yang aneh dan menganjal,
mungkinkah akan ada sesuatu yang tak terduga. Mereka pun tak tahu, yang pasti
anggota keluarga Imah menunggu kedatangan Imah dan adiknya untuk membawa kabar
gembira.
Keadaan di masing-masing kelas menjadi sangat menegangkan.
“Naimah Luhuriani,” panggil Bu Guru.
Naimah pun maju kedepan dengan hari yang penuh dengan getaran-getaran
tak menentu, kakinya menjadi tak tegak untuk menginjak tanah.
“Selamat Imah, kamu berhasil menjadi juara bertahan lagi di tahun
ini. Kamu lagi-lagi mendapat juara pertama di kelas ini. Selalu pertahankan dan
tingkatkan prestasimu untuk menghapai ujuan nasional tahun depan!”
“Siap Bu, terimaksih,” jawab Imah dengan girang.
Dan ternyata hal itu juga dialami oleh adik tersayangnya, mereka
berdua sangat bahagia karena bisa mendapat juara kelas dan beasiswa untuk
kesekiankalinya. Tak lupa teman-teman mereka pun bergantian memberi ucapan
selamat kepada mereka. Hadiah dari ibu guru berupa seragam sekolah, tas, dan
alat tulis kini berada dalam genggaman mereka. Setelah bel pulang sekolah
berbunyi Imah dan Yani bergegas untuk pulang dan memberitahukan kabar gembira
ini kepada keluarga yang pastinya sudah menanti.
Di sepanjang jalan yang penuh dengan lalu lalang pengendara motor,
Yani selalu mengembangkan senyumnya, wajar bila dia sebahagia ini. Kamudian
tiba-tiba matanya tertuju pada seorang pengemudi yang terlihat sedang berusaha
memutar balik kendaraannya untuk
mengambil barang bawaanya yang terjatuh di jalalan tidak jauh dari tempat Yani
berdiri. Yani pun kemudian mencoba membantu Bapak itu mengambilkan barang
bawaanya. Hingga tanpa dia sadari ternyata ada seorang pengendara muda yang
mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi dan tanpa aturan datang dari arah
belakang, seolah-oalah akan menerjang Yani. Kemudin sigap Naimah segera
mengangkat tubuh Yani dan mencoba untuk menyelamatkan adiknya. Suasana menjadi
sangat menyeramkan, ini adalah keadaan
antara hidup dan mati.
“Guubrrraaaakkk!!!!!”
Suara jeritan dari anak perempuan pun terdengar sangat jalas dan
miris. Kemudian disusul dengan suara kebingungan dan berontakan dari
orang-orang di sekitar tempat itu. Tangis seorang gadis pun seketika pecah
membuat orang-orang di sekitar tempat itu berbondong-bondong untuk menolong
korban tabrakan itu. Dan di waktu yang sama, di rumah, tangan ibu dari kedua
gadis manis nan tangguh itu terluka kerena tergores kaca dari gelas yang
dipecahkanya.
Kabar gembira kini sudah berubah duka. Gadis kecil itu sudah tidak
bisa terselamatkan, mungkin ini sudah takdir dari Allah. Kini gadis pejuang itu
harus berpisah dengan ibu yang paling disayanginya dan keluarganya. Semua
makhluk berduka, banyak sekali tangis yang mengiringi kepergiannya. Mungkin di
dunia yang selanjutnya dia akan menemukan kebahagiaan yang abadi. Kini dia
hanya bisa mendoakan ibu dan keluarganya dari atas awan putih yang indah dan
sejuk itu, sembari menunggu ibu dan keluarganya kelak menyusul dia untuk hidup
di dunia kekal yang jauh lebih indah.
Rumah reot dan penghuninya kini tengah dirundung duka yang luar
biasa. Kini sosok putri cantik yang tegar itu sudah pergi untuk selama-lamanya.
Adiknyalah yang kan menggantikan perannya mencari nafkah utuk keluarga,
membantu kakeknya. Dan semoga saja sosok ayah yang selama ini dinanti
kepulangannya bisa segera datang dengan sikap yang lebih baik dan bersedia
membantu keluarga tersebut menyambung hidup. Selamat jalan Naimah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar