Jumat, 31 Oktober 2014

Cerpen-Hati untuk Karibku



HATI UNTUK KARIBKU

“Sebenarnya sejak dulu aku mencintai Aldo, bahkan sebelum kau menegnalnya Va.”
Ucapan Stella tepat di parkir sekolah sebelum kami beranjak pulang benar-benar membuat hatiku bercampur aduk dengan berbagai kecipak rasa berwarna gelap. Entah apa yang harus aku lakukan setelah ini, semua sendi dan nadiku seolah berhenti bekerja. Aku pun seketika berubah gagu untuk menanggapi pernyataan Stella.

Stella merupakan sahabatku sejak SMP, hingga saat duduk di bangku SMA kami masih sangat dekat. Karena jarak antara rumahku dengan rumah Stella tidak bagitu jauh dan sejalan dengan arah untuk ke sekolah, setiap hari Stella menjemputku untuk berangkat sekolah bersama. Maklum aku tak memiliki kendaraan seperti teman-temanku yang lain. Aku hanya seoarang gadis yang berasal dari keluarga sederhana. Namun entah mengapa aku tak pernah sedikit pun merasa kekurangan. Justru teman-temanku yang berasal dari keluarga berada, menyatakan bahwa mereka merasa cemburu akan kemesraan dan kehangatan keluarga kecilku.

Setiap pagi Stella selalu menjemputku, setelah kami berpamitan dan bersalaman dengan ibu dan ayahku kami pun kemudian meluncur ke sekolah. Stella memang sudah sangat dekat dengan keluargaku, bahkan kami sudah seperti saudara sendiri. Di sepanjang perjalanan menuju sekolah pasti kami selalu bercerita serta bercanda di sepanjang perjalanan layaknya kenari yang berkicau meyambut pagi.

Namun, untuk saat ini aku tidak dapat sedikit pun mengebangkan senyum seperti hari-hari biasanya. Aku lebih sering berdiam diri, berfikir, berangan, dan bersembunyi di balik nyata senyumku yamng penuh dusta. Masih saja kata-kata Stella saat di parkiran sekolah itu membuat hatiku berkecamuk hebat.

Ya, Stella menyatakan bahwa dia mencintai Aldo, seorang lelaki yang saat ini berstatus sebagai pacarku. Aku memeng belum sempat membagi ceritaku ini kepada Stella, karena saat itu aku dan Aldo baru beberapa minggu memutuskan untuk mengikat perasaan kami kembali.

Sebenarnya ini bukan pertama kalinya aku dan Aldo menjadi sepasang kekasih. Karena saat duduk di bangku kelas satu SMA kami sudah pernah pacaran. Hanya saja saat itu aku belum memiliki rasa cinta sedikit pun kepada Aldo. Dan sesungguhnya alasan aku menerima cinta Aldo saat itu adalah karena rasa iba dan kekagumanku atas perjuangan yang ditunjukkannya selama ini. Perjuangan yang sempat membuat aku terharu. Air mata pun sempat menetes melihat ketulusan dan keseriuasan seorang cowok demi mendapatkan cintanya. Namun, yang membuat aku tak mengerti dengan diriku sendiri adalah mengapa aku belum bisa menumbuhkan rasa cinta untuk Aldo?!

Menurut cerita dari Nikita yang tak lain adalah teman satu kelasku dan merupakan teman Aldo sejak duduk di bangku SMP, pertama kali Aldo melihat aku adalah ketika sekolah kami sedang mengadakan pesta tahunan yang kebetulan saat itu jatuh pada tanggal 14 Februari. Sebuah tanggal yang biasanya diperinagti sebagai hari kasih sayang. Sejak saat itu Aldo sering menanyakan tentang aku serta nomor handphoneku kepada Nikita. Selang beberapa hari setelah pesta tahunan tersebut entah mengapa hal tersebut bisa terjadi. Tiba-tiba saat jam istirahat Aldo datang kekelasku dengan maksud untuk berkenalan denganku.

“Masuk sajalah Do, Reva ada di dalam kelas.”, samar-samar suara Nikita terdengar deri luar kelas. Setelah Aldo samapi di bibir pintu, dari semua sisi tubuhku para teman cewek menarik dan mendorongku untuk mendekat pada Aldo. Riuh para teman cowok dan cewek semua pecah menjadi satu bersama tepukkan tangan, siulan, dan berbagai macam tingkah mereka yang tak pernah terduga sebelumnya. Semua teman-teman menghujanikau dengan teriakan-teriakan yang menggelitik.  Ketika aku terjaga dari gaduh suara teman-temanku tiba-tiba aku sudah berada di hadapan Aldo. Dengan memasang wajah bodoh, bingung, serta polos aku hanya berdiri tegak tanpa senyum walaupun saat itu Aldo sudah memberikan senyum termanisnya untukku. Tak berapa lama kemudian dia memulai pembicaraan.
“Maaf jika aku sudah mengganggu dan menyita waktumu, aku ke sini berniat untuk berkenalan denganmu”
“Perkenalkan sebelumnya, namaku Aldo Rivano anak kelas X-5.”, katanya sembari mengulurkan tangannya ke arahku.
“Tak mengapa, namaku Reva.” Jawabku cuek.
Dari sitiulah awal aku mengenal Aldo, namun semenjak perkenalan itu aku justru merasa kesal pada Si Aldo. Ketika aku ayunkan kembali ingatankau kepada sosok Aldo, menurutku jika dipandang dari segi penampilan seolah mengisyaratkan tanda bahwa Aldo adalah tipe cowok yang banyak gaya dan mudah menaruh hati pada para perampuan.

          Setelah perkenalan itu aku menerima SMS dari Aldo. “Membosankan sekali jika aku harus membalas pesan dari Aldo.”, gerutuku dalam hati. Aldo pun sering mengirim pesan kepadaku, menanyakan hal-hal yang tidak begitu penting. Bahkan seolah-olah dia menjadi alarm di setiap jam dan kalender handphoneku.
“Menyebalkan! Hudupku menjadi tidak tenang karena Si Aldo.”, gerutuku terus-menerus dalam hati.  Walaupun jawabanku sangat katus bahkan mungkin sangat menyakitkan untuk dibaca, tetapi entah mengapa tak henti-hentinya dia mengirim pesan kepadaku dan mencoba memancing aku agar mau bercerita tentang diri dan hidupku. Dasar cowok keras kepala.

          Setelah hampir dua bulan kami berkirim-kiriman pesan, aku pun sudah mulai terbiasa dan mau menganggapi pesan dari Aldo. Sampai pada suatu ketika Aldo menyatakan isi hatinya kapadaku melalui SMS yang panjang dan lebar, jadinya luas deh. Ah, sangat malas aku jika harus dihadapkan denagn keadaan seperti ini. Setelah aku mambaca semua pesan Aldo yang sangat luas itu rasanya sperti membaca buku sejarah, aku pun tertidur tanppa sempat mambalas pesanya.

          Esok harinya, Aldo membuat ulah lagi, dia menemui aku dan mengajakku untuk berbicara berdua.
“Va, sebenarnya sejak pertama kali aku melihat kamu saat pesta tahunan sekolah kita, aku sudah jatuh cinta sama kamu. Apakah kamu mau menerima cinta ini Va?”, ucapnya dengan memasang wajah serius sambil menggenggam jemari-jemariku. Mati aku. Ah, mana percaya aku dengan cinta pada pandangan pertama, itu pasti hanya omong kosong saja.  Aku terdiam sejenak, mencari jawaban yang kiranya terkasan halus dan tidak menyakiti hati Aldo.
“Tapi aku belum bisa mencintai kamu Do, akan terasa lebih baik dan lebih indah jika kita berteman saja.”, jawabku jujur sambil berusaha melepaskan  tanganku dari genggaman Aldo.
“Tolong beri aku kesempatan untuk memebuktikan perasaan dan keseriusanku ini, aku berjanji tidak akan mengecewakanmu Va.”, sahutnya coba meyakinkanku.
“Entahlah do.”, jawabku singkat kemudian meninggalkan Aldo dan kembali ke kelasku.

          Mulai hari itu Aldo mulai benar-banar membuktikan kata-katanya. Aku hampir tidak percaya di begiti sabar menghadapi sukapku yang menyebalkan ini. Di terus saja melangkah maju meskipun tiada sedikitpun tanda-tanda harapan itu akan dilihatya. Seiring berjalannya waktu aku mulai merasa kagum serta iba melihat perjuangan Aldo. Hingga pada suutu ketika saat dia kembali menyatakan perasaanya di hadapanku entah itu yang keberapa kalinya aku sudah tak sanggup menghitung. Aku pun memutuskan untuk mau menerima Aldo menjadi pacarku, namun bukan atas dasar cinta, melainkan kerena iba.

          Hari-hari saat kami pacaran, aku merasa hidupku menjadi aneh. Karena sebelumnya aku tak pernah merasakan yang namanya pacaran. Setiap hari Aldo mengejakku untuk berangkat sekolah bersama, tapi setuap hari pula aku menolak ajakannya tersebut. Setiap pulang sekolah Aldo pun selalu menghampiri aku untuk mengjakku pulang bersama.
“Reva, ayo pulang bareng aku saja!”, sapa Aldo deri belakang.
Iya, berbeda dari kebanyakan orang pacaran pada umumnya. Aku tidak mau Aldo memanggilku dengan sebutan sayang, cinta, beibh, atau mamah, dan sebagainya. Ih, apa-apaan pacaran kok panggilnya “Mama”, tua banget, itu pacar apa bu de. Hihihi. Aku hanya ingin di panggil Reva, sebuah nama indah pemberian dari kedua orang tuaku.
Aku yang saat itu sedang berjalan berdua dengan Stella menuju parkiran, dan pada saat itu aku juga sama sekali belum tahu mengenai perasaan Stella kepada Aldo, sehingga aku hanya bersikap biasa tanpa memiliki rasa bersalah sama sekali.
“Maaf Do, tapi setelah ini aku tidak langsung pulang ke rumah karena aku akan main ke rumah  SMPku bersama Stella.” Jawabku sampul sedikit gagu karena aku harus mencari alasan yang sekiranya belum pernah aku lontarkan kepada Aldo. Stella yang saat itu berjalan berdampingan denganku hanya melamparkan senyum tanpa makan ke arahku.

          Semakin lama aku semakin gila dengan hubungan ini, sebuah hubungan yang terjalin tanpa rasa cinta dari hatiku. Walaupun segala pengorbanan Aldo sudah sangat luar biasa namun tak sedikit pun hal itu mampu meyemaikan getaran cinta di hati ini. Setelah dua bulan hubungan ini terjalin, aku memutuskan untuk mengakhiri ini semua. Hatiku berkata jika ini semua tidak segera aku akhiri sama saja aku hanya akan menyakiti hati Aldo lebih dalam lagi.

          Selama aku memutuskan untuk lepas dari ikatan cinta Aldo, aku pun memulai kembali hidupku seperti dulu lagi. Bebas. Aku bisa kembali terbang baermain dengan siapa saja, tidak ada lagi orang yang menelusup ke dalam hidupku. Aku bisa kembali tertawa lepas.

          Tahun ajaran baru sudah di depan mata, semua siswa riuh dan penasaran meyembut teman baru dan guru baru yang akan mereka jumpai di kelas baru pula. Setelah aku dan teman-temanku mencoba memasang mata jeli untuk mencari nama kami yang terselip di antara ratusan nama siswa lain. Akhirnya aku menemukan namaku yang berapa pada daftar siswa kelas XI-IPS 2. Tanpa berpikir panjang, setelah teman-temanku pun sudah menemukan daftar namanya kami pun langsung melangkah menuju kelas baru kami masing-masing. Di perjalanan menuju kelas baru, di setiap sudut sekolah aku melihat kebahagiaan serta kesedihan yang terpasang di wajah mereka. Ada siswa yang bahagia kerena mereka dipertemukan dalam kelas yang sama bersama dengan pacar, sahabat, maupun orang yang mereka sukai. Di sudut lain ada juga siswa yang muram kerana mereka harus berpisah dengan pacar maupun teman dekat mereka di kelas sebelumnya. Hari itu memang penuh diwarnai dengan banyak sekali ekspresi.

          Setelah aku akan menginjakkan kakiku di teras kelas baruku, tiba-tiba dari dalam kelas Intan dan Nova yang tak lain adalah teman dekatku menyambutku dan langsung memelukku. Betapa gembiranya aku bisa di pertemukan dengan mereka lagi dan yang lebih menggembirakan lagi ternyata benyak teman-temanku dari kelas sebelumnya masuk dalam kelas baru yang sama denganku. Aku pun  duduk bersebelahan dengan Intan. Intan adalah salah satu temanku yang kocak, dia termasuk salah satu siswa yang terkenal di sekolah. Banyak teman-teman yang menjulukinya sebagai preman cewek, walupun seperti itu Intan sebenarnya memiliki sifat yang baik dan hati yang lembut.

          Setelah aku memilih tempat duduk dan meletakkan tasku, aku dan teman-teman kembali ke luar kelas untuk melihat ke adaan di luar. Betapa terkejutnya aku melihat Aldo sedang berdiri dan ngobrol bersama teman-temannya di depan kelasku. "Jangan-jangan Aldo juga masuk dalam daftar nama siswa kelas beruku ini? Jangan sampai! Ini tidak boleh terjadi! Tapi kalau memang benar, kau harus bagaimana?”, hatiku berkecamuk tidak tentu dan cabang-cabang otakku mulai bekerja dengan keras. Aku berharap hal itu tidak terjadi. Dan ternyata, semua yang aku takutkan benar –benar terjadi. Aldo masuk dalam kelasku dan menjadi teman satu kelasku. Entah aku menjadi tidak nyaman berada di kelas baru ini, rasanya aku sulit untuk memposisiskan didiku di sini. Aku menjadi oarng yang binging dalam bersikap.
“Cobaan apa lagi ini Tuhan?”, tanyaku sambil menangis dalam hati.

Setelah hampir dua bulan aku berada dalam kelas yang sama dengan Aldo aku menjadi tahu sifat dan sikap dalam keseharian Aldo. Entah mengapa hatiku mulai menarik-narik pandanganku ke arah dia. Aku baru sadar, ternyata apa yang aku pikirkan tentang Aldo selama ini semua salah. Ternyata Aldo adalah sosok yang setia dalam keyakinannya, buktinya semenjak kami putus dia belum juga mencari pengganti diriku untuk bertahta di hatinya. Dia juga pandai, supel, dan meliliki sifat sederhana walaupun tak dapat dipungkiri bahwa dia berasal dari keluarga berada. Semenjak itu, di dalam kelas kami pun sering tidak sengaja saling mencuru-curi pandang. Huhh, deg-degan sekali setiap aku dan dia saling ketahunan sedang mencuru-curi pandang. Hahaha, asyik.
“Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta?? Ternyata nikmat sekali ya?”, ucapku dalam hati.
“Namun, apalah Aldo masih mencintaiku setelah perlakuanku kepada dia selama ini?”, pertanyaan dalam hatiku itu mulai melemahkan kegiranganku.
“Reva, Reva, aku punya kabar untukmu!”, ucap Intan mengagetkanku.
“Ah, kau mengegetkanku saja Tan. Ada apa?”, jawabku sambil memenagn tangan Intan.
“Malam tadi Aldo SMS aku, aku pun tak atahu masksud dari itu semua. Aku hanya manjawab pesannya dengan singkat-singkat saja, soalnya kau takut jika kamu nanti menjadi salah paham.”, jawab Intan bermaksud menjelaskan.
“Mungkin dia mau deketin kamu Tan, hahaha.”, jawabku seraya menggoda sambil menarik tangan Intan ke dalam kelas.
“Ah, nggak mungkinlah Va! Kau ini ada-ada saja.”

          Cerita dari Intan itu menjadi beban hidup terendiri untukku. Ternyata Aldo sudah tak mencintaiku lagi, ya, ini mungkin karma untukku. Air mata pun kini sering bermuara di pipiku, penyesalanku sudah mulai terasa. Sakit. Namun, beberapa hari kemudian saat aku dan Intan sedang makan di kantin sekolah dia bercerita kembali kepada ku bahwa semalam Aldo mengirimi pesan kepada dia lagi. Yang membuat aku bahagia adalah kerena Aldo meminta nomor handphoneku yang baru pada Intan. Iya, nomor handphone ku memang aku ganti semanjak aku putus dengan Aldo, dengan maksud agar aldo tidak mengganggu hidupku lagi. Di situ aku sangat girang sekali, sampai-sampai Intan hampir tidak percaya dengan sikapku. Namun mungkin dia sudah bisa merasakan bahwa aku sudah mulai menyukai Aldo.
“Cie... cie... cie... yang lagi jatuh cinta sama mantan pacar. Hahaha.”, celetuk Intan sambil menggodaku dan mencubit parutku.

          Malam harinya, handphoneku bergetar, satu pesan masuk. Setelah aku membukanya ternyata pesan itu datang dari pujaan hatiku yang tak lain adalah Aldo.
“Hooree!!! Asyiiikk!!!”, aku berteriak dari dalam kamarku hingga membuat seisi rumahku terkejut. Hihihihi.

Sejak saat itu aku dan Aldo kemudian menjadi kembali dekat dan akhirnya kami pun memutuskan untuk menjadi sepasang kekasih kembali. Aku melayang dalam indahnya pelangi cinta. Namun, Stella belum tahu mengenai hal ini kerena memang untuk berangkat dan pulang sekolah pun aku memilih untuk bersama Stella. Aku merasa cinta ini menguatkanku dan memberikan semangat baru untuk belajar agar aku bisa seperti Aldo, yang dipuji oleh setiap guru-guru. Setiap akan diadakan ulangan, aku dan Aldo selalu mengedakan perjanjian. Siapa yang mendapatkan nilai lebih tinggi dia akan ditraktir oleh yang kalah. Setiap aku mengalami kesulitan dalam mata pelajaran matematika dan Bahasa Inggris, Aldo selalu ada untuk mengajariku. Sungguh beruntungnya aku memiliki pacar seperti Aldo, bodohnya aku yang dulu pernah menyia-nyiakan lelaki sebaik dia. Setiap jam istirahat kami selalu menghabiskan waktu berdua di kantin sekolah maupun di kelas. Kami selau bercanda dan bertukar pikiran menegenai apa saja yang kami anggap penting. Tak jarang pula Aldo menyayikan lagu untukku dan memperlihatkan trik sulap yang dia kuasai. Aku merasa menjadi orang yang sangat bahagia semenjak bersama dengan Aldo, hingga teman-teman pun menjuluki kami sebagai pasangan yang paling romantis. Ada-ada saja, hehehe. Kedua orang tuaku dan oarng tua Aldo pun sudah mengetahui tantang hubungan kami ini, mereka mendukung kami selama kami masih berada dalam jalur pacaran yanag benar. Aku dan Aldo berjanji tidak akan mengancurkan kepercayaan yang telah diberikan oleh kedua orang tua kami.

Namun, kebahagiaan itu nampakanya harus memeleh bersama derasnya air mata. Aku belum bisa menceritakan tentang ucapan Stella siang kemarin, di lain sisi aku masih takut kehilangan Aldo dan di sisi lain aku juga sangat takut kehilangan sahabatku dan aku pun tak kuasa menyakiti hati mereka berdua.
“Tuhan, aku harus berbuat apa?”, aku menangis dalam hati.
Aku hanya mampu menceritakan hal ini kepada Intan, dia pun dibuat bingung oleh keadaanku saat ini. 

          Seperti biasa, jam istirahat kali ini Aldo duduk di sampingku sambil menggenggam tanganku erat karena memang aku kurang bersemangat untuk menjalani hidupku setelah kejadian siang itu sehingga membuat Aldo berfikir kalau aku kurang enak badan. Kami bercanda bersama teman-teman di dalam kelas yang saat itu sedang membicarakan topik permasalahan tentang teks anekdot yang tadi telah kami karang saat pelajaran Bahasa Indonesia, semua teman-teman tertawa riuh.

          Tanpa aku sadari, Stella masuk ke dalam kelasku dengan maksud akan meminjam dasiku kerena hari itu dia lupa tidak membawa dasi sedangkan setelah istirahat ini guru yang akan masuk ke kalasnya adalah salah satu guru kiler di sekolahan kami. Aku sangat terkejut melihat ika yang berdiri tegak tepat di belakangku, sampai-sampai saat itu nafasku berhenti dan aliran darahku tiba-tiba membeku. Aku tahu Stella pun pasti tidak percaya dengan apa yang dilihatnya tersebut, tatapannya sangat dalam dan mengarah tepat di tanganku dan Aldo yang menyatu dalam sebuah genggaman. Setelah kau memberikan dasiku untuk Stella, dia pun langsung pergi keluar dari kelasku setelah sebelumnya dia melempar senyum kecut ke arahku. Sejenak hatiku luluh lantah, aku pun langsung berlari keluar kelas menghampiri Intan. Aku sudah tak dapat menahan air mataku yang sudah membendung di kelopak mata. Aku meluapkan kesedihanku di pelukan Intan, dengan ketulusannya dia memeluk erat dan meyeka air mataku yang mengucur deras. Intan mencoba menenangkan aku sedang segala cara. Sedangkan Aldo yang saat itu melihat aku menangis di pelukan Intan akhirnya pun mengetahui masalah ini, dia pun seperti merasa bersalah dan ikut menenangka aku. Sejak saat itu aku memutuskan untuk mengakhiri hubunganku dengan Aldo, walaupun terasa sangat berat dan menyakitkan namun mungkin ini adalah jalan yang terbaik. Aldo yang menolak perpisahan itu terjadi tetep teguh mempertahankan hubungan kami, dia memintaku untuk mempertemukan dia dengan Stella beserta aku. Aldo ingin mencoba menbicarakan masalah ini dengan Stella dan akau secara baik-baik, sehingga kami bisa mencari jalan keluar yang terbaik. Tetapi aku tetap saja akan merasa tidak enak hati kapada sahabatku, Stella.

          Setelah aku mencurahkan isi hatiku kepada ibuku yang merupakan sosok sahabat terbaik dan paling bisa mengerti aku, nasihat ibulah yang aku nantikan saat ini. Selelah semuanya kisah ini aku bagi dengan ibuku, ibu menasihati aku agar aku lebih memilih Stella dibanding Aldo.
“Sahabat itu untuk selamanya Nak, sedang kekasih tak seperti itu. Relakan Aldo untuk Stella, bukankah kebahagiaan sahabatmu juga merupakan kebahagiaanmu?”, ibuku menasihatiku sambil memelukku dan membelai halus rambutku.
“Iya Bu, tetapi aku sangat mencintai Aldo, bagitu pun sebaliknya Bu”, jawabku sembari mencoba mempertahankan keinginanku untuk tetap bersama Aldo.
“Jika memang kelak Aldo adalah jodohmu, yakinlah dia akan kembali untukmu. Namun jika tidak, kelak pasti akan ada lelaki terbaik yang telah Allah persiapkan untukmu.”, jawab ibuku lagi.

          Sejak saat itu aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan cintaku dengan Aldo, walaupun dia tidak menerima keputusanku ini.
“Jika kau mampu menunggu aku hingga lulus SMA, aku yakin kata pasti akan bisa bersatu kembali untuk marajut sejarah kisah cinta kita yang pernah terhenti olah keadaan ini, Do.”, ucapku sambil mengusap air mata Aldo.
Baru kali ini aku meliahat seoarang lelaki menangis, hanya karena masalah cinta.
“Iya Va, jika memang keputusanmu ini sudah bulat, kau memang egois. Tapi aku akan selalu mencintaimu.”, jawab Aldo lemas, mungkin dia juga sudah benci terhadapku. Menurut Aldo aku sekarang adalah perempuan yang egois. Aku pun lari meninggalkan Aldo.
“Aku tidak egois Do, aku pun berat untuk melakukan ini semua. Namun ini adalah jalan keluar yang terbaik untuk masalah ini.”, jawabku dalam hati sambil menangis tersedu-sedu.

          Dalam penantian panjang kami, ternyata Aldo sudah benar-benar membenci aku. Kini aku sudah naik ke kelas tiga SMA, dari kabar burung yang bergemuruh aku mendengar kabar bahwa kini Aldo sudah memiliki pacar baru. Hancur memang, kecewa sudah pasti, tapi tak perlu disesali aku akan mencoba ikhlas dan tegar dengan keadaan ini. Hingga beberapa bulan kemudian aku pun memiliki kekasih baru, walaupun dalam perjalanan cintaku ini bayang-bayang Aldo masih sangat nyata terlihat. Memang sebenarnya aku belum bisa sepenuhnya menghapus cinta ini, meskipun aku sudah burusaha keras. Mungkin Aldo juga merasakan hal yang sama, karena tak berapa lama kemudian aku mendapat kabar dari teman-taman jika Aldo sudah putus dengan kekasih barunya tersebut.