HATI
UNTUK KARIBKU
“Sebenarnya
sejak dulu aku mencintai Aldo, bahkan sebelum kau menegnalnya Va.”
Ucapan Stella tepat di parkir
sekolah sebelum kami beranjak pulang benar-benar membuat hatiku bercampur aduk
dengan berbagai kecipak rasa berwarna gelap. Entah apa yang harus aku lakukan
setelah ini, semua sendi dan nadiku seolah berhenti bekerja. Aku pun seketika
berubah gagu untuk menanggapi pernyataan Stella.
Stella
merupakan sahabatku sejak SMP, hingga saat duduk di bangku SMA kami masih
sangat dekat. Karena jarak antara rumahku dengan rumah Stella tidak bagitu jauh
dan sejalan dengan arah untuk ke sekolah, setiap hari Stella menjemputku untuk
berangkat sekolah bersama. Maklum aku tak memiliki kendaraan seperti
teman-temanku yang lain. Aku hanya seoarang gadis yang berasal dari keluarga
sederhana. Namun entah mengapa aku tak pernah sedikit pun merasa kekurangan.
Justru teman-temanku yang berasal dari keluarga berada, menyatakan bahwa mereka
merasa cemburu akan kemesraan dan kehangatan keluarga kecilku.
Setiap
pagi Stella selalu menjemputku, setelah kami berpamitan dan bersalaman dengan
ibu dan ayahku kami pun kemudian meluncur ke sekolah. Stella memang sudah
sangat dekat dengan keluargaku, bahkan kami sudah seperti saudara sendiri. Di
sepanjang perjalanan menuju sekolah pasti kami selalu bercerita serta bercanda
di sepanjang perjalanan layaknya kenari yang berkicau meyambut pagi.
Namun,
untuk saat ini aku tidak dapat sedikit pun mengebangkan senyum seperti
hari-hari biasanya. Aku lebih sering berdiam diri, berfikir, berangan, dan
bersembunyi di balik nyata senyumku yamng penuh dusta. Masih saja kata-kata
Stella saat di parkiran sekolah itu membuat hatiku berkecamuk hebat.
Ya,
Stella menyatakan bahwa dia mencintai Aldo, seorang lelaki yang saat ini
berstatus sebagai pacarku. Aku memeng belum sempat membagi ceritaku ini kepada
Stella, karena saat itu aku dan Aldo baru beberapa minggu memutuskan untuk
mengikat perasaan kami kembali.
Sebenarnya
ini bukan pertama kalinya aku dan Aldo menjadi sepasang kekasih. Karena saat
duduk di bangku kelas satu SMA kami sudah pernah pacaran. Hanya saja saat itu
aku belum memiliki rasa cinta sedikit pun kepada Aldo. Dan sesungguhnya alasan
aku menerima cinta Aldo saat itu adalah karena rasa iba dan kekagumanku atas
perjuangan yang ditunjukkannya selama ini. Perjuangan yang sempat membuat aku
terharu. Air mata pun sempat menetes melihat ketulusan dan keseriuasan seorang cowok
demi mendapatkan cintanya. Namun, yang membuat aku tak mengerti dengan diriku
sendiri adalah mengapa aku belum bisa menumbuhkan rasa cinta untuk Aldo?!
Menurut
cerita dari Nikita yang tak lain adalah teman satu kelasku dan merupakan teman
Aldo sejak duduk di bangku SMP, pertama kali Aldo melihat aku adalah ketika
sekolah kami sedang mengadakan pesta tahunan yang kebetulan saat itu jatuh pada
tanggal 14 Februari. Sebuah tanggal yang biasanya diperinagti sebagai hari
kasih sayang. Sejak saat itu Aldo sering menanyakan tentang aku serta nomor handphoneku
kepada Nikita. Selang beberapa hari setelah pesta tahunan tersebut entah
mengapa hal tersebut bisa terjadi. Tiba-tiba saat jam istirahat Aldo datang kekelasku
dengan maksud untuk berkenalan denganku.
“Masuk sajalah Do, Reva ada di
dalam kelas.”, samar-samar suara Nikita terdengar deri luar kelas. Setelah Aldo
samapi di bibir pintu, dari semua sisi tubuhku para teman cewek menarik dan
mendorongku untuk mendekat pada Aldo. Riuh para teman cowok dan cewek semua
pecah menjadi satu bersama tepukkan tangan, siulan, dan berbagai macam tingkah
mereka yang tak pernah terduga sebelumnya. Semua teman-teman menghujanikau
dengan teriakan-teriakan yang menggelitik.
Ketika aku terjaga dari gaduh suara teman-temanku tiba-tiba aku sudah
berada di hadapan Aldo. Dengan memasang wajah bodoh, bingung, serta polos aku
hanya berdiri tegak tanpa senyum walaupun saat itu Aldo sudah memberikan senyum
termanisnya untukku. Tak berapa lama kemudian dia memulai pembicaraan.
“Maaf jika aku sudah mengganggu
dan menyita waktumu, aku ke sini berniat untuk berkenalan denganmu”
“Perkenalkan sebelumnya, namaku
Aldo Rivano anak kelas X-5.”, katanya sembari mengulurkan tangannya ke arahku.
“Tak mengapa, namaku Reva.”
Jawabku cuek.
Dari sitiulah awal aku mengenal
Aldo, namun semenjak perkenalan itu aku justru merasa kesal pada Si Aldo.
Ketika aku ayunkan kembali ingatankau kepada sosok Aldo, menurutku jika
dipandang dari segi penampilan seolah mengisyaratkan tanda bahwa Aldo adalah
tipe cowok yang banyak gaya dan mudah menaruh hati pada para perampuan.
Setelah
perkenalan itu aku menerima SMS dari Aldo. “Membosankan sekali jika aku harus
membalas pesan dari Aldo.”, gerutuku dalam hati. Aldo pun sering mengirim pesan
kepadaku, menanyakan hal-hal yang tidak begitu penting. Bahkan seolah-olah dia
menjadi alarm di setiap jam dan kalender handphoneku.
“Menyebalkan! Hudupku menjadi
tidak tenang karena Si Aldo.”, gerutuku terus-menerus dalam hati. Walaupun jawabanku sangat katus bahkan
mungkin sangat menyakitkan untuk dibaca, tetapi entah mengapa tak
henti-hentinya dia mengirim pesan kepadaku dan mencoba memancing aku agar mau
bercerita tentang diri dan hidupku. Dasar cowok keras kepala.
Setelah
hampir dua bulan kami berkirim-kiriman pesan, aku pun sudah mulai terbiasa dan
mau menganggapi pesan dari Aldo. Sampai pada suatu ketika Aldo menyatakan isi
hatinya kapadaku melalui SMS yang panjang dan lebar, jadinya luas deh. Ah, sangat
malas aku jika harus dihadapkan denagn keadaan seperti ini. Setelah aku mambaca
semua pesan Aldo yang sangat luas itu rasanya sperti membaca buku sejarah, aku
pun tertidur tanppa sempat mambalas pesanya.
Esok
harinya, Aldo membuat ulah lagi, dia menemui aku dan mengajakku untuk berbicara
berdua.
“Va, sebenarnya sejak pertama
kali aku melihat kamu saat pesta tahunan sekolah kita, aku sudah jatuh cinta
sama kamu. Apakah kamu mau menerima cinta ini Va?”, ucapnya dengan memasang
wajah serius sambil menggenggam jemari-jemariku. Mati aku. Ah, mana percaya aku
dengan cinta pada pandangan pertama, itu pasti hanya omong kosong saja. Aku terdiam sejenak, mencari jawaban yang
kiranya terkasan halus dan tidak menyakiti hati Aldo.
“Tapi aku belum bisa mencintai
kamu Do, akan terasa lebih baik dan lebih indah jika kita berteman saja.”,
jawabku jujur sambil berusaha melepaskan
tanganku dari genggaman Aldo.
“Tolong beri aku kesempatan untuk
memebuktikan perasaan dan keseriusanku ini, aku berjanji tidak akan
mengecewakanmu Va.”, sahutnya coba meyakinkanku.
“Entahlah do.”, jawabku singkat
kemudian meninggalkan Aldo dan kembali ke kelasku.
Mulai
hari itu Aldo mulai benar-banar membuktikan kata-katanya. Aku hampir tidak
percaya di begiti sabar menghadapi sukapku yang menyebalkan ini. Di terus saja
melangkah maju meskipun tiada sedikitpun tanda-tanda harapan itu akan
dilihatya. Seiring berjalannya waktu aku mulai merasa kagum serta iba melihat
perjuangan Aldo. Hingga pada suutu ketika saat dia kembali menyatakan
perasaanya di hadapanku entah itu yang keberapa kalinya aku sudah tak sanggup
menghitung. Aku pun memutuskan untuk mau menerima Aldo menjadi pacarku, namun
bukan atas dasar cinta, melainkan kerena iba.
Hari-hari
saat kami pacaran, aku merasa hidupku menjadi aneh. Karena sebelumnya aku tak
pernah merasakan yang namanya pacaran. Setiap hari Aldo mengejakku untuk
berangkat sekolah bersama, tapi setuap hari pula aku menolak ajakannya
tersebut. Setiap pulang sekolah Aldo pun selalu menghampiri aku untuk mengjakku
pulang bersama.
“Reva, ayo pulang bareng aku
saja!”, sapa Aldo deri belakang.
Iya, berbeda dari kebanyakan
orang pacaran pada umumnya. Aku tidak mau Aldo memanggilku dengan sebutan
sayang, cinta, beibh, atau mamah, dan sebagainya. Ih, apa-apaan pacaran kok
panggilnya “Mama”, tua banget, itu pacar apa bu de. Hihihi. Aku hanya ingin di
panggil Reva, sebuah nama indah pemberian dari kedua orang tuaku.
Aku yang saat itu sedang berjalan
berdua dengan Stella menuju parkiran, dan pada saat itu aku juga sama sekali
belum tahu mengenai perasaan Stella kepada Aldo, sehingga aku hanya bersikap
biasa tanpa memiliki rasa bersalah sama sekali.
“Maaf Do, tapi setelah ini aku
tidak langsung pulang ke rumah karena aku akan main ke rumah SMPku bersama Stella.” Jawabku sampul sedikit
gagu karena aku harus mencari alasan yang sekiranya belum pernah aku lontarkan
kepada Aldo. Stella yang saat itu berjalan berdampingan denganku hanya
melamparkan senyum tanpa makan ke arahku.
Semakin
lama aku semakin gila dengan hubungan ini, sebuah hubungan yang terjalin tanpa
rasa cinta dari hatiku. Walaupun segala pengorbanan Aldo sudah sangat luar
biasa namun tak sedikit pun hal itu mampu meyemaikan getaran cinta di hati ini.
Setelah dua bulan hubungan ini terjalin, aku memutuskan untuk mengakhiri ini
semua. Hatiku berkata jika ini semua tidak segera aku akhiri sama saja aku
hanya akan menyakiti hati Aldo lebih dalam lagi.
Selama
aku memutuskan untuk lepas dari ikatan cinta Aldo, aku pun memulai kembali
hidupku seperti dulu lagi. Bebas. Aku bisa kembali terbang baermain dengan
siapa saja, tidak ada lagi orang yang menelusup ke dalam hidupku. Aku bisa
kembali tertawa lepas.
Tahun
ajaran baru sudah di depan mata, semua siswa riuh dan penasaran meyembut teman
baru dan guru baru yang akan mereka jumpai di kelas baru pula. Setelah aku dan
teman-temanku mencoba memasang mata jeli untuk mencari nama kami yang terselip
di antara ratusan nama siswa lain. Akhirnya aku menemukan namaku yang berapa
pada daftar siswa kelas XI-IPS 2. Tanpa berpikir panjang, setelah teman-temanku
pun sudah menemukan daftar namanya kami pun langsung melangkah menuju kelas
baru kami masing-masing. Di perjalanan menuju kelas baru, di setiap sudut
sekolah aku melihat kebahagiaan serta kesedihan yang terpasang di wajah mereka.
Ada siswa yang bahagia kerena mereka dipertemukan dalam kelas yang sama bersama
dengan pacar, sahabat, maupun orang yang mereka sukai. Di sudut lain ada juga
siswa yang muram kerana mereka harus berpisah dengan pacar maupun teman dekat
mereka di kelas sebelumnya. Hari itu memang penuh diwarnai dengan banyak sekali
ekspresi.
Setelah
aku akan menginjakkan kakiku di teras kelas baruku, tiba-tiba dari dalam kelas
Intan dan Nova yang tak lain adalah teman dekatku menyambutku dan langsung
memelukku. Betapa gembiranya aku bisa di pertemukan dengan mereka lagi dan yang
lebih menggembirakan lagi ternyata benyak teman-temanku dari kelas sebelumnya
masuk dalam kelas baru yang sama denganku. Aku pun duduk bersebelahan dengan Intan. Intan adalah
salah satu temanku yang kocak, dia termasuk salah satu siswa yang terkenal di
sekolah. Banyak teman-teman yang menjulukinya sebagai preman cewek, walupun seperti
itu Intan sebenarnya memiliki sifat yang baik dan hati yang lembut.
Setelah
aku memilih tempat duduk dan meletakkan tasku, aku dan teman-teman kembali ke
luar kelas untuk melihat ke adaan di luar. Betapa terkejutnya aku melihat Aldo
sedang berdiri dan ngobrol bersama teman-temannya di depan kelasku. "Jangan-jangan
Aldo juga masuk dalam daftar nama siswa kelas beruku ini? Jangan sampai! Ini
tidak boleh terjadi! Tapi kalau memang benar, kau harus bagaimana?”, hatiku
berkecamuk tidak tentu dan cabang-cabang otakku mulai bekerja dengan keras. Aku
berharap hal itu tidak terjadi. Dan ternyata, semua yang aku takutkan benar
–benar terjadi. Aldo masuk dalam kelasku dan menjadi teman satu kelasku. Entah
aku menjadi tidak nyaman berada di kelas baru ini, rasanya aku sulit untuk
memposisiskan didiku di sini. Aku menjadi oarng yang binging dalam bersikap.
“Cobaan apa lagi ini Tuhan?”,
tanyaku sambil menangis dalam hati.
Setelah
hampir dua bulan aku berada dalam kelas yang sama dengan Aldo aku menjadi tahu sifat
dan sikap dalam keseharian Aldo. Entah mengapa hatiku mulai menarik-narik
pandanganku ke arah dia. Aku baru sadar, ternyata apa yang aku pikirkan tentang
Aldo selama ini semua salah. Ternyata Aldo adalah sosok yang setia dalam
keyakinannya, buktinya semenjak kami putus dia belum juga mencari pengganti
diriku untuk bertahta di hatinya. Dia juga pandai, supel, dan meliliki sifat
sederhana walaupun tak dapat dipungkiri bahwa dia berasal dari keluarga berada.
Semenjak itu, di dalam kelas kami pun sering tidak sengaja saling mencuru-curi
pandang. Huhh, deg-degan sekali setiap aku dan dia saling ketahunan sedang
mencuru-curi pandang. Hahaha, asyik.
“Apakah ini yang dinamakan jatuh
cinta?? Ternyata nikmat sekali ya?”, ucapku dalam hati.
“Namun, apalah Aldo masih
mencintaiku setelah perlakuanku kepada dia selama ini?”, pertanyaan dalam
hatiku itu mulai melemahkan kegiranganku.
“Reva, Reva, aku punya kabar
untukmu!”, ucap Intan mengagetkanku.
“Ah, kau mengegetkanku saja Tan.
Ada apa?”, jawabku sambil memenagn tangan Intan.
“Malam tadi Aldo SMS aku, aku pun
tak atahu masksud dari itu semua. Aku hanya manjawab pesannya dengan
singkat-singkat saja, soalnya kau takut jika kamu nanti menjadi salah paham.”,
jawab Intan bermaksud menjelaskan.
“Mungkin dia mau deketin kamu
Tan, hahaha.”, jawabku seraya menggoda sambil menarik tangan Intan ke dalam
kelas.
“Ah, nggak mungkinlah Va! Kau ini
ada-ada saja.”
Cerita
dari Intan itu menjadi beban hidup terendiri untukku. Ternyata Aldo sudah tak
mencintaiku lagi, ya, ini mungkin karma untukku. Air mata pun kini sering
bermuara di pipiku, penyesalanku sudah mulai terasa. Sakit. Namun, beberapa
hari kemudian saat aku dan Intan sedang makan di kantin sekolah dia bercerita
kembali kepada ku bahwa semalam Aldo mengirimi pesan kepada dia lagi. Yang
membuat aku bahagia adalah kerena Aldo meminta nomor handphoneku yang
baru pada Intan. Iya, nomor handphone ku memang aku ganti semanjak aku putus
dengan Aldo, dengan maksud agar aldo tidak mengganggu hidupku lagi. Di situ aku
sangat girang sekali, sampai-sampai Intan hampir tidak percaya dengan sikapku.
Namun mungkin dia sudah bisa merasakan bahwa aku sudah mulai menyukai Aldo.
“Cie... cie... cie... yang lagi
jatuh cinta sama mantan pacar. Hahaha.”, celetuk Intan sambil menggodaku dan mencubit
parutku.
Malam
harinya, handphoneku bergetar, satu pesan masuk. Setelah aku membukanya
ternyata pesan itu datang dari pujaan hatiku yang tak lain adalah Aldo.
“Hooree!!! Asyiiikk!!!”, aku
berteriak dari dalam kamarku hingga membuat seisi rumahku terkejut. Hihihihi.
Sejak
saat itu aku dan Aldo kemudian menjadi kembali dekat dan akhirnya kami pun
memutuskan untuk menjadi sepasang kekasih kembali. Aku melayang dalam indahnya
pelangi cinta. Namun, Stella belum tahu mengenai hal ini kerena memang untuk
berangkat dan pulang sekolah pun aku memilih untuk bersama Stella. Aku merasa
cinta ini menguatkanku dan memberikan semangat baru untuk belajar agar aku bisa
seperti Aldo, yang dipuji oleh setiap guru-guru. Setiap akan diadakan ulangan,
aku dan Aldo selalu mengedakan perjanjian. Siapa yang mendapatkan nilai lebih
tinggi dia akan ditraktir oleh yang kalah. Setiap aku mengalami kesulitan dalam
mata pelajaran matematika dan Bahasa Inggris, Aldo selalu ada untuk
mengajariku. Sungguh beruntungnya aku memiliki pacar seperti Aldo, bodohnya aku
yang dulu pernah menyia-nyiakan lelaki sebaik dia. Setiap jam istirahat kami
selalu menghabiskan waktu berdua di kantin sekolah maupun di kelas. Kami selau
bercanda dan bertukar pikiran menegenai apa saja yang kami anggap penting. Tak
jarang pula Aldo menyayikan lagu untukku dan memperlihatkan trik sulap yang dia
kuasai. Aku merasa menjadi orang yang sangat bahagia semenjak bersama dengan
Aldo, hingga teman-teman pun menjuluki kami sebagai pasangan yang paling
romantis. Ada-ada saja, hehehe. Kedua orang tuaku dan oarng tua Aldo pun sudah
mengetahui tantang hubungan kami ini, mereka mendukung kami selama kami masih
berada dalam jalur pacaran yanag benar. Aku dan Aldo berjanji tidak akan
mengancurkan kepercayaan yang telah diberikan oleh kedua orang tua kami.
Namun,
kebahagiaan itu nampakanya harus memeleh bersama derasnya air mata. Aku belum
bisa menceritakan tentang ucapan Stella siang kemarin, di lain sisi aku masih
takut kehilangan Aldo dan di sisi lain aku juga sangat takut kehilangan
sahabatku dan aku pun tak kuasa menyakiti hati mereka berdua.
“Tuhan, aku harus berbuat apa?”,
aku menangis dalam hati.
Aku hanya mampu menceritakan hal
ini kepada Intan, dia pun dibuat bingung oleh keadaanku saat ini.
Seperti
biasa, jam istirahat kali ini Aldo duduk di sampingku sambil menggenggam
tanganku erat karena memang aku kurang bersemangat untuk menjalani hidupku
setelah kejadian siang itu sehingga membuat Aldo berfikir kalau aku kurang enak
badan. Kami bercanda bersama teman-teman di dalam kelas yang saat itu sedang
membicarakan topik permasalahan tentang teks anekdot yang tadi telah kami
karang saat pelajaran Bahasa Indonesia, semua teman-teman tertawa riuh.
Tanpa
aku sadari, Stella masuk ke dalam kelasku dengan maksud akan meminjam dasiku
kerena hari itu dia lupa tidak membawa dasi sedangkan setelah istirahat ini
guru yang akan masuk ke kalasnya adalah salah satu guru kiler di sekolahan
kami. Aku sangat terkejut melihat ika yang berdiri tegak tepat di belakangku,
sampai-sampai saat itu nafasku berhenti dan aliran darahku tiba-tiba membeku.
Aku tahu Stella pun pasti tidak percaya dengan apa yang dilihatnya tersebut,
tatapannya sangat dalam dan mengarah tepat di tanganku dan Aldo yang menyatu
dalam sebuah genggaman. Setelah kau memberikan dasiku untuk Stella, dia pun
langsung pergi keluar dari kelasku setelah sebelumnya dia melempar senyum kecut
ke arahku. Sejenak hatiku luluh lantah, aku pun langsung berlari keluar kelas
menghampiri Intan. Aku sudah tak dapat menahan air mataku yang sudah membendung
di kelopak mata. Aku meluapkan kesedihanku di pelukan Intan, dengan
ketulusannya dia memeluk erat dan meyeka air mataku yang mengucur deras. Intan
mencoba menenangkan aku sedang segala cara. Sedangkan Aldo yang saat itu
melihat aku menangis di pelukan Intan akhirnya pun mengetahui masalah ini, dia
pun seperti merasa bersalah dan ikut menenangka aku. Sejak saat itu aku
memutuskan untuk mengakhiri hubunganku dengan Aldo, walaupun terasa sangat
berat dan menyakitkan namun mungkin ini adalah jalan yang terbaik. Aldo yang
menolak perpisahan itu terjadi tetep teguh mempertahankan hubungan kami, dia
memintaku untuk mempertemukan dia dengan Stella beserta aku. Aldo ingin mencoba
menbicarakan masalah ini dengan Stella dan akau secara baik-baik, sehingga kami
bisa mencari jalan keluar yang terbaik. Tetapi aku tetap saja akan merasa tidak
enak hati kapada sahabatku, Stella.
Setelah
aku mencurahkan isi hatiku kepada ibuku yang merupakan sosok sahabat terbaik
dan paling bisa mengerti aku, nasihat ibulah yang aku nantikan saat ini.
Selelah semuanya kisah ini aku bagi dengan ibuku, ibu menasihati aku agar aku
lebih memilih Stella dibanding Aldo.
“Sahabat itu untuk selamanya Nak,
sedang kekasih tak seperti itu. Relakan Aldo untuk Stella, bukankah kebahagiaan
sahabatmu juga merupakan kebahagiaanmu?”, ibuku menasihatiku sambil memelukku
dan membelai halus rambutku.
“Iya Bu, tetapi aku sangat
mencintai Aldo, bagitu pun sebaliknya Bu”, jawabku sembari mencoba
mempertahankan keinginanku untuk tetap bersama Aldo.
“Jika memang kelak Aldo adalah
jodohmu, yakinlah dia akan kembali untukmu. Namun jika tidak, kelak pasti akan
ada lelaki terbaik yang telah Allah persiapkan untukmu.”, jawab ibuku lagi.
Sejak
saat itu aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan cintaku dengan Aldo, walaupun
dia tidak menerima keputusanku ini.
“Jika kau mampu menunggu aku
hingga lulus SMA, aku yakin kata pasti akan bisa bersatu kembali untuk marajut
sejarah kisah cinta kita yang pernah terhenti olah keadaan ini, Do.”, ucapku
sambil mengusap air mata Aldo.
Baru kali ini aku meliahat
seoarang lelaki menangis, hanya karena masalah cinta.
“Iya Va, jika memang keputusanmu
ini sudah bulat, kau memang egois. Tapi aku akan selalu mencintaimu.”, jawab
Aldo lemas, mungkin dia juga sudah benci terhadapku. Menurut Aldo aku sekarang
adalah perempuan yang egois. Aku pun lari meninggalkan Aldo.
“Aku tidak egois Do, aku pun
berat untuk melakukan ini semua. Namun ini adalah jalan keluar yang terbaik
untuk masalah ini.”, jawabku dalam hati sambil menangis tersedu-sedu.
Dalam
penantian panjang kami, ternyata Aldo sudah benar-benar membenci aku. Kini aku
sudah naik ke kelas tiga SMA, dari kabar burung yang bergemuruh aku mendengar
kabar bahwa kini Aldo sudah memiliki pacar baru. Hancur memang, kecewa sudah
pasti, tapi tak perlu disesali aku akan mencoba ikhlas dan tegar dengan keadaan
ini. Hingga beberapa bulan kemudian aku pun memiliki kekasih baru, walaupun
dalam perjalanan cintaku ini bayang-bayang Aldo masih sangat nyata terlihat.
Memang sebenarnya aku belum bisa sepenuhnya menghapus cinta ini, meskipun aku
sudah burusaha keras. Mungkin Aldo juga merasakan hal yang sama, karena tak
berapa lama kemudian aku mendapat kabar dari teman-taman jika Aldo sudah putus
dengan kekasih barunya tersebut.